-->

Serial Kho Ping Ho Bukek Siansu 1-17 Tamat

Posting Komentar




Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng
Pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang
kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh
embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman
oleh hawa dingin menusuk. Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu
mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan
butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun dan rumput membuat bunga-bunga
yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri. Cahaya
matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun
kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun dan ranting
sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah,
disana sini bertemu dengan pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang
dibentuk oleh segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah! Bagi mata
yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru dan yang senantiasa akan
nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap hari Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari
matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah kokok
ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali, kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul menyusul dari
beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti
kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini
terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang
sahut-menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki
kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang
bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada
pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri
ataukan keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu. Anak laki-laki itu masih amat
kecil. Tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar
yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur dan sudah ada setengah jam
lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar
ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih,
namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis lurus. Aneh melihat
seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana
sekali, biarpun amat bersih seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang
terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang tampan,
hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat
dia menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang
anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa. Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh
seri kehidupan ketika dia tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur,
bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan
tetapi lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin
menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya yang
tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di
bawah kaki gunung. Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan
tidak tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu bahwa di pagi hari seperti
itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia
lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua
kakinya bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti
pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari
duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan
terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang
bulat, mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk

Untuk kelanjutan ceritanya silahkan anda Download seluruh serial Bukek Siansu ini dalam bentuk rar yang didalamnya ada 1-17 serial khusus Bukek Siansu

Semoga Postingan Ini Bermanfaat😇

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter