-->

Sun Go Kong ( Kisah Perjalanan Ke Barat )

Posting Komentar

 Begitu sulitnya cari buku Klasik Cerita Sun Go Kong Dengan Judul Cerita Kisah Perjalanan Ke Barat
Akhirnya saya hanya mendapatkan sedikit cerita dari kisah ini yang saya comot dari kiri dan kanan tetangga sebelah...hehehehe
Silahkan Simak Sedikit Cerita Sun Go Kong sang Kera Sakti Ini

Sejak awal terbentuknya dunia adalah sebongkah batu yang setiap hari disempurnakan wujudnya oleh unsur-unsur surgawi serta elemen-elemen duniawi. Bongkahan batu itu juga tak luput dari perhatian matahari dan sinar rembulan—hingga secara magis bentuknya semakin membesar.

Suatu hari, batu itu terbelah dua dan ‘melahirkan’ sebutir telur keras yang besarnya sama dengan bola kaki. Diasuh oleh embusan angin yang bergulir semilir, telur tersebut tumbuh menjadi seekor monyet batu—lengkap dengan anggota dan organ tubuh.

Dalam waktu singkat, monyet tersebut belajar memanjat dan berlari; namun hal pertama yang dia lakukan begitu ia menarik napas pertamanya adalah membungkuk ke arah empat mata angin. Pada saat bersamaan, seberkas cahaya melesat dari matanya dan terlihat sampai Istana Bintang Kutub. Kilat cahaya yang begitu cemerlang ini mengejutkan Kaisar Giok yang tengah duduk di ruang Balai Budaya, Gedung Kabut Suci, dalam Kerajaan Awan, di teritori Gerbang Emas. Sang Kaisar ditemani oleh sekumpulan peri yang menjabat sebagai menteri istana. Mengamati kilat cahaya aneh itu, Kaisar Giok segera memerintahkan dua utusannya—Si Mata Seribu dan Si Bisikan Angin—untuk membuka pintu gerbang Surga Selatan dan mengawasi apa yang sedang terjadi di Bumi.

Mendengar perintah sang Kaisar, kedua penjaga tersebut tak buang waktu dan bergegas pergi ke pintu gerbang Surga Selatan untuk melongok ke bawah, ke arah Bumi. Sesudah itu, mereka segera menghadap sang Kaisar dan melaporkan temuan mereka.

“Sinar cemerlang yang Kaisar tanyakan berasal dari perbatasan sebuah negeri bernama Ao-Lai yang terletak di bagian timur Benua Suci,” kata mereka secara bersamaan. “Tepatnya di atas Gunung Kembang dan Bebuahan. Di atas gunung ini ada sebongkah batu ajaib yang baru saja ‘melahirkan’ sebutir telur keras. Batu tersebut berubah wujud jadi seekor monyet batu. Ketika monyet itu membungkuk ke arah empat mata angin, sekelebat kilau cahaya melesat dari matanya dan memantul sampai ke Istana Bintang Kutub. Tapi sekarang ini monyet itu tengah makan dan minum hingga cahaya di matanya meredup.”

Kaisar Giok mencerna informasi yang disampaikan kedua utusannya. Kemudian ia sendiri melongokkan kepala ke arah Bumi yang terhampar nun jauh di bawah gumpalan awan.

“Mahluk-mahluk di bawah sana memiliki unsur campuran surgawi dan duniawi,” katanya dengan suara serak. “Maka tak heran kalau banyak hal-hal aneh terjadi di sana.”

Si monyet gemar berjalan, berlari, melompat dan menerjang melewati area perbukitan. Ia mengudap rumput dan semak-semak, serta minum dari aliran sungai atau genangan mata air. Ia selalu mengumpulkan bunga-bunga yang tumbuh di sekitar pegunungan dan mencari buah-buahan. Serigala, harimau dan macan jadi sahabatnya; rusa dan musang teman baiknya; serta siamang dan babon jadi sanak-saudaranya. Di malam hari, ia berteduh di bawah tebing bebatuan. Sementara di siang hari dia berkeliaran di puncak-puncak tebing serta di dalam goa-goa gelap.

Suatu pagi, ketika matahari bersinar terik, sehabis bermain di dalam bayang-bayang pohon pinus, si monyet batu, bersama kawanan monyet lainnya, pergi berbasuh di sungai pegunungan. Tak habis mereka mengagumi air yang seolah tak pernah selesai mengalir, bergumul dan membuncah di antara bebatuan cadas. Dahulu kala, ada sebuah pepatah: “Setiap mahluk hidup memilik bahasa dan penuturannya masing-masing.” Kawanan monyet itu kemudian berkata: “Kami tidak ada yang tahu dari mana asal aliran air ini. Berhubung kami tak punya pekerjaan—kenapa kami tidak cari tahu saja asal muasal aliran sungai ini?”

Maka dengan semangat riang, kawanan monyet itu pun segera menarik tangan anak-anak mereka serta kerabat yang lebih tua untuk mendaki gunung dan mencari asal aliran sungai. Bersama-sama mereka mengikuti liuk sungai dan menaiki tebing-tebing curam hingga akhirnya tiba di ujung sungai: sebuah kolam yang menampung derasnya curahan air terjun tinggi.

Sekawanan monyet itu pun terpana bukan kepalang. Mereka bertepuk tangan seraya berdecak: “Indah sekali! Indah sekali! Siapa sangka sungai ini mengalir dari tempat yang begitu tinggi sebelum lepas ke Lautan Luas? Bila ada salah satu dari kami yang cukup berani untuk menembus tirai air ini dan kembali melompat keluar tanpa mengalami luka-luka, kami akan mengangkatnya sebagai raja!”

Tiga kali tawaran ini disampaikan sebelum salah satu dari kawanan monyet itu melompat ke atas batu dan menanggapi tantangan tersebut. Siapa lagi kalau bukan si monyet batu?

“Aku akan mencobanya!” cetusnya lantang. “Aku akan mencobanya!”

Si monyet batu berjongkok, mengambil posisi kuda-kuda; lalu matanya dipejamkan erat-erat. Hanya dengan satu lompatan saja, ia menembus dinding air terjun tersebut. Ketika ia membuka mata, si monyet batu melihat bahwa ia telah sampai di sebuah goa yang sama sekali kering. Sebuah jembatan besar terbentang di hadapannya—mengkilap. Si monyet batu memperhatikannya dengan saksama dan mendapati bahwa jembatan itu terbuat dari besi. Air mengalir di bawah jembatan, berasal dari sebongkah batu yang berlubang, memenuhi parit. Si monyet batu melompat beberapa kali hingga tiba di atas jembatan seraya mengamati sekelilingnya.

Tidak jauh dari jembatan itu ada sebuah rumah yang terbuat dari batu—dilengkapi dengan kursi dan sofa batu, serta meja dan perkakas batu. Kemudian ia melompat kecil ke atas undakkan batu di ujung jembatan dan melihat adanya tulisan yang terukir di dinding tebing, bunyinya: “Ini adalah Goa Tirai Air yang terletak di ranah Gunung Kembang dan Bebuahan. Goa ini mengarah ke Surga.”

Membaca tulisan itu, si monyet batu tak bisa menutupi kegirangannya. Ia buru-buru beranjak ke tepi ruangan, lalu mengambil posisi kuda-kuda, memejamkan mata dan melompat menembus tirai air di hadapannya.

“Wah, kita beruntung!” serunya saat tiba di luar. “Kita beruntung sekali!”

Kawanan monyet itu berkumpul di bawahnya, berdesakkan. “Apa yang kau temui di balik dinding air itu? Apakah airnya dalam?”

“Tak ada air,” ujar si monyet batu. “Hanya ada jembatan besi dan di sampingnya ada tempat di mana kita semua bisa tinggal.”

“Apa yang membuatmu yakin kita bisa tinggal di sana?” tanya kawanan monyet itu seraya menggaruk kepala.

“Air di dalam sana asalnya dari lubang dalam batu, itu pun hanya memenuhi parit dangkal di bawah jembatan. Di sisi jembatan ada kembang dan buah-buahan, serta rumah yang terbuat dari batu. Di dalam rumah itu ada meja batu, cangkir batu, piring batu, sofa batu, dan kursi batu. Kita bisa hidup nyaman di sana. Tempat itu juga cukup luas untuk menampung ratusan ribu ekor anggota keluarga kita, baik itu yang muda maupun tua. Mari kita tinggal di sana; kita bisa berlindung dari segala macam cuaca.”

“Kau masuk duluan dan tunjukkan pada kami bagaimana cara ke sana!” teriak kawanan monyet itu. Mereka pun ikut bersemangat.

Sekali lagi, si monyet batu memejamkan mata dan melompat menembus dinding air terjun. “Ayo, semuanya melompat!” panggilnya dari dalam.

Mereka yang nekat mengikuti langkah si monyet batu dengan melompat tanpa pikir dua kali; sementara mereka yang ragu-ragu mengulurkan leher mereka dan menariknya kembali, sebelum kemudian menggaruk telinga dan mengusap pipi. Lalu dengan teriakan lantang, mereka melompat bersamaan mengikuti jejak yang lain.

Tiba di Goa Tirai Air, kawanan monyet itu segera menginspeksi rumah tinggal baru mereka dengan mengangkat segala macam perangkat yang terbuat dari batu, memilih tempat tidur, menilik tungku perapian, menyeret dan memindahkan perabotan—atau singkatnya berperilaku layaknya segerombolan kera yang tak bisa diam dan selalu usil hingga lelah menyergap.

Si monyet batu pun akhirnya duduk di kursi tertinggi, menghadap ke arah gerombolan monyet-monyet lain, seraya berkata: “Tuan-tuan dan nyonya-nyonya! Ada sebuah pepatah: ‘Tak ada yang bisa diharapkan dari orang yang janjinya tak bisa dipegang’. Kalian berjanji bahwa siapapun yang berani menembus dinding air terjun dan kembali dalam keadaan selamat akan diangkat jadi raja. Aku sudah melakukan lebih dari itu. Aku memberikan kalian tempat tinggal dan tempat tidur. Kenapa sekarang kalian tidak menunduk dan menyembahku sebagai raja baru kalian?”

Diingatkan oleh janji mereka, kawanan monyet itu segera membungkukkan badan dan meratakan telapak tangan mereka di atas lantai dalam posisi menyembah. Mereka juga berbaris sesuai dengan urutan usia dan reputasi. Kemudian sambil terus membungkukkan badan, mereka berseru: “Raja kami yang luar biasa semoga engkau diberkahi hidup sehat selama ribuan tahun!”

Puas, si monyet batu pun resmi mengasumsi posisi sebagai Raja Monyet. Ia bahkan menambahkan gelar lain pada jabatannya: “Raja Monyet Gagah.”

Hal berikutnya yang dilakukan Raja Monyet adalah menunjuk sejumlah monyet, kera dan babon untuk jadi petugas dan menteri dalam pemerintahannya. Di siang hari, kawanan itu mengitari area Gunung Kembang dan Bebuahan. Sementara di malam hari, mereka tidur di dalam Goa Tirai Air. Mereka hidup terasing, namun harmonis dan bahagia bersama-sama. Mereka tak melihat adanya kepentingan menjalin persahabatan dengan hewan-hewan lain.

Selama bertahun-tahun, Raja Monyet menikmati keharmonisan itu bersama rakyatnya. Tapi suatu hari, di tengah pesta besar-besaran yang diramaikan oleh seluruh rakyatnya, sang raja mendadak diserang perasaan sedih dan tak kuasa menahan curahan air mata.

Maka dengan penuh simpati rakyatnya pun segera berkumpul menghadap sang raja sambil membungkuk penuh hormat dan bertanya: “Kenapa Yang Mulia begitu murung?”

“Saat ini,” jawab sang raja. “Aku tak punya alasan untuk bersedih. Tapi aku punya keraguan tersendiri terhadap masa depanku. Hal ini sangat memberatkan pikiran.”

“Yang Mulia, Anda sulit sekali dipuaskan,” ujar rakyat seraya tertawa. “Setiap hari kita selalu menghabiskan waktu bersama dengan riang di tempat-tempat indah. Kita tidak dimangsa oleh hewan buas; dan kita juga tidak diatur oleh manusia. Bukankah kebebasan seperti ini merupakan berkah yang luar biasa? Bagaimana mungkin Yang Mulia bisa bersedih?”

“Benar sekali apa yang kalian katakan,” sahut Raja Monyet. “Bahwa saat ini aku tidak perlu takut diatur oleh manusia, ataupun diancam oleh hewan buas. Namun akan tiba waktu di mana aku akan menua dan melemah. Yama, Raja Kematian, diam-diam menunggu waktu yang tepat untuk memusnahkanku. Apakah tidak ada cara untuk menunda kematian dan mencapai keabadian?”

Mendengar penuturan raja mereka, kawanan monyet yang berjumlah ribuan itu pun segera menjatuhkan wajah ke atas telapak tangan sambil menangis sesenggukan—memikirkan kematian mereka sendiri.

Tapi lantas di antara gerombolan monyet yang sedang menangis itu, seekor monyet jelata berteriak lantang: “Jika itu yang mengganggu pikiran Yang Mulia, berarti hati Yang Mulia kini dikuasai oleh spiritualisme. Di antara semua mahluk hidup, ada tiga kelompok yang tak akan pernah berhadapan dengan Yama, Raja Kematian.”

Raja Monyet terperanjat. “Dan kau tahu kelompok apa saja itu?”

“Budha, dewa, dan orang suci,” jawab monyet jelata. “Ketiganya terbebaskan dari perputaran Roda Reinkarnasi, serta dari kelahiran dan kehancuran. Mereka seabadi Surga dan Bumi, serta sekonsisten bukit dan aliran sungai.”

“Lantas di mana aku bisa menemukan mereka?”

“Di sini, di Bumi yang kita tinggali bersama,” jawab monyet jelata. “Di dalam goa-goa dan di tengah bukit-bukit penuh pesona.”

Sang raja tentunya sangat gembira mendengar kabar ini.

“Besok,” katanya kepada rakyat yang berkerumun. “Aku akan meninggalkan kalian dan turun gunung. Aku akan mengarungi benua ini hingga tiba ke tepian laut. Dari situ aku akan berlayar ke ujung dunia—sampai aku menemukan Budha, dewa atau orang suci. Dari mereka aku akan mempelajari rahasia keabadiaan dan menghindari kematian.”

Keyakinan inilah yang nantinya akan membantu Raja Monyet melepaskan diri dari Roda Reinkarnasi dan menaikkan derajatnya sebagai Qi Tian Da Sheng (Kera Sakti).

Para monyet yang bergerombol di hadapan sang raja pun ikut bergembira. Mereka bertepuk tangan dan berteriak: “Hebat! Hebat! Besok kami akan berkeliling mencari buah beri dan buah-buahan lainnya, serta mengadakan pesta perpisahan terbesar demi menghormati raja kami.”

Keesokan harinya, warga Goa Tirai Air berpencar mengumpulkan buah persik dan buah-buah lain yang jarang ditemukan, sekaligus rerumputan gunung, umbi-umbian, bunga anggrek, serta tanaman lain yang aneh dan sulit dicari. Kemudian mereka menyiapkan meja dan kursi batu, sebelum menghamparkan sajian makanan dan minuman yang melimpah.

Raja Monyet duduk di kepala meja, sementara rakyatnya duduk berbaris sesuai dengan posisi jabatan dan usia. Cangkir persahabatan dioper dari tangan ke tangan, mulut ke mulut; lalu masing-masing rakyat menawari sang raja agar menyantap sajian bunga dan bebuahan. Mereka berpesta seharian penuh, dan keesokan harinya lagi, Raja Monyet terbangun dari tidurnya pagi-pagi sekali seraya berkata: “Wahai rakyatku, potonglah beberapa pohon pinus dan buatkan aku sebuah rakit sederhana. Lalu carikan sebatang bambu untuk kujadikan tongkat. Dan, untuk bekal, kumpulkan beberapa buah-buahan. Perjalananku dimulai hari ini.”

Raja Monyet berlayar sendirian, menjauh dari gunung yang ia cintai—menuju ke tengah laut. Diseret oleh embusan angin, ia pun akhirnya tiba di perbatasan Benua Selatan. Ternyata nasib masih berpihak padanya; selama berhari-hari, sejak ia beranjak dari goa tempat tinggalnya, angin selatan bertiup kencang dan membawanya sampai ke arah barat laut, yang tak lain adalah perbatasan Benua Selatan. Raja Monyet kemudian menguji kedalaman air dengan tongkat di tangan. Dangkal. Maka ia turun dari rakit yang ia tumpangi dan beranjak ke tepian pantai.

Di tepi pantai, ia melihat ada sejumlah orang tengah memancing, memburu angsa liar, menangkup kerang, dan mengeringkan garam. Raja Monyet segera menghampiri orang-orang ini dan bertingkah di hadapan mereka. Kontan mereka terkejut dan menjatuhkan keranjang bawaan mereka, sebelum lari terbirit-birit.

Meski begitu, ada satu orang yang tak ikut lari dan justru berdiri tegap. Melihat itu, Raja Monyet segera menangkap orang tersebut dan menyambar pakaian yang dikenakan. Tak heran bila orang itu lantas pergi dari sana. Raja Monyet belajar untuk mengenakan pakaian manusia di tubuhnya sendiri. Kemudian ia melompat menjelajahi area perkotaan, keluar-masuk pasar dan bazar umum—serta meniru kebiasaan dan cara bicara manusia. Namun itu bukan berarti ia telah melupakan tujuan utamanya. Raja Monyet tetap memikirkan bagaimana caranya mendapatkan keabadian dari para dewa dan orang suci. Hanya saja, setelah ia menghabiskan waktu di tengah peradaban manusia, Raja Monyet menemukan bahwa manusia hanya peduli terhadap keuntungan atau ketenaran; tak ada seorang pun yang peduli terhadap kehidupan mereka berikutnya.

Selama delapan atau sembilan tahun, Raja Monyet beranjak dari satu kota ke kota lain, satu desa ke desa lain—hingga akhirnya tiba di Laut Barat. Ia yakin bahwa di ujung laut ini bermukim para dewa dan orang suci. Oleh karenanya, Raja Monyet membangun rakit seperti yang ia miliki sebelumnya. Ia berlayar mengarungi Laut Barat sampai tiba di Benua Barat. Di sana, Raja Monyet menepi. Setelah berkeliling di benua tersebut, Raja Monyet tiba-tiba melihat sebuah gunung yang sangat tinggi dan indah dengan area kaki pegunungan yang lebat ditumbuhi pepohonan. Sebab Raja Monyet tak pernah takut dimangsa oleh hewan-hewan buas—maka dengan santai ia pun mendaki gunung tersebut.

Dalam perjalanannya mendaki gunung, mendadak Raja Monyet mendengar ada suara yang datangnya jauh dari kedalaman hutan lebat. Menanggapi hal itu, ia segera mencari asal suara dan mendengarkan dengan saksama. Seorang pria terdengar sedang melantunkan sebuah lagu, dan inilah kalimat yang sempat didengar Raja Monyet:

     Aku tak punya rencana ataupun jebakan;

    Ketenaran dan rasa malu sama saja bagiku;

    Hidup sederhana adalah kunci keabadian.

    Semua yang kutemui dalam perjalanan hidupku,

    Adalah para dewa, semuanya,

    Yang selalu memegang erat,

    Rahasia hidup dan mati.

Ketika Raja Monyet mendengar bait-bait lagu tersebut, ia tampak sangat puas.

“Pasti ada dewa yang hidup di sekitar sini,” katanya. Tanpa buang waktu, ia segera melompat ke dalam hutan dan menemukan bahwa orang yang sedang melantunkan lagu tadi adalah seorang tukang kayu. Tukang kayu itu tengah bernyanyi sambil memotong kayu.

“Wahai dewa,” kata Raja Monyet seraya mendekat. “Ijinkan saya untuk jadi murid Anda.”

Si Tukang Kayu pun terkejut dan menjatuhkan kapaknya ke tanah. “Anda salah orang,” katanya terbata. “Saya hanya seorang tukang kayu yang miskin. Mengapa Anda memanggil saya dengan sebutan ‘dewa’?”

“Bukankah Anda dewa?”

“Bukan,” jawab si Tukang Kayu.

“Lho, lantas kenapa tadi Anda bernyanyi seolah Anda tahu kunci keabadian?”

“Memang apa yang saya nyanyikan?”

Raja Monyet mengulang lirik yang didengarnya tadi: “Saya mendengar Anda melantunkan—‘Semua yang kutemui dalam perjalanan hidupku adalah para dewa, semuanya, yang selalu memegang erat rahasia hidup dan mati.’ Rahasia hidup dan mati hanya diketahui oleh para dewa. Maka Anda pasti termasuk di antara mereka yang abadi.”

“Saya takkan membohongi Anda,” kata si Tukang Kayu. “Lagu itu diajarkan kepada saya oleh orang suci yang tinggalnya tidak jauh dari sini. Suatu hari dia melihat saya bekerja keras dan jatuh kasihan pada saya; maka dia memberikan saya mantra nyanyian yang bisa mengusir segala kekhawatiran dalam hati saya. Mantra itu adalah lagu yang tadi Anda dengar. Menurutnya lagu itu akan menenangkan hati saya dan meringankan beban hidup saya. Barusan saya kebetulan sedang kesal, maka saya menyanyikan lagu itu. Saya tidak tahu kalau Anda mendengarkan nyanyian saya.”

“Jika ada orang suci yang tinggal di sekitar sini,” kata Raja Monyet. “Kenapa Anda tidak jadi muridnya saja? Bukankah lebih baik bagi Anda untuk mempelajari cara mencapai keabadian?”

Si Tukang Kayu menjawab: “Hidup saya selama ini cukup sulit. Ketika saya berusia delapan atau sembilan tahun, saya kehilangan ayah saya. Saya tidak punya saudara, maka ibu saya hanya bisa mengandalkan saya. Saya tak punya pilihan kecuali bekerja keras—dari pagi sampai malam. Sekarang ibu saya sudah tua, dan saya tak berani meninggalkannya sendirian. Kebun kami terbengkalai dan kami tak punya cukup makanan ataupun pakaian. Yang bisa saya lakukan sekarang hanya memotong kayu bakar, membawanya ke pasar, dan dengan hasil yang tak seberapa membeli beras yang nantinya saya masak sendiri untuk kemudian saya sajikan untuk ibu saya. Saya tak punya waktu untuk mempelajari ilmu tipu muslihat.”

“Dari apa yang Anda ucapkan,” kata Raja Monyet. “Saya bisa melihat betapa baik dan berbaktinya Anda sebagai seorang anak. Saya yakin kebaikan Anda akan terbalas suatu hari. Saya hanya minta agar Anda menunjukkan kepada saya di mana tempat tinggal para dewa dan orang suci. Karena saya ingin berkunjung.”

“Tidak jauh, kok,” ujar si Tukang Kayu. “Gunung ini bernama Gunung Teras Suci—dan di atasnya ada goa bernama Goa Bulan Miring dan Tiga Bintang. Di dalam goa itu tinggallah seorang laki-laki tua yang sangat disegani, bernama Subhodi. Dulu, dia memiliki banyak sekali murid. Tapi sekarang hanya tinggal tiga atau empat puluh orang saja yang setiap hari aktif belajar bersamanya. Anda hanya tinggal mengikuti jalur ke selatan sejauh 40-45 kilometer dan nanti Anda akan tiba di kediamannya.”

“Saudara,” kata Raja Monyet sambil merangkul si Tukang Kayu. “Ikutlah dengan saya. Bila nanti saya menuai keuntungan dari perjalanan ini, maka saya takkan pernah lupa jasa-jasa Anda.”

“Heran, kok masih belum mengerti juga,” hardik si Tukang Kayu. “Baru saja saya bercerita kepada Anda mengenai alasan kenapa saya tidak bisa pergi dari sini. Jika saya ikut dengan Anda, bagaimana dengan pekerjaan saya? Siapa yang akan memberi makan ibu saya? Saya harus melanjutkan pekerjaan saya. Anda harus melanjutkan perjalanan Anda sendirian.”

Mendengar penjelasan si Tukang Kayu, Raja Monyet pun tak punya pilihan lain kecuali berpamitan dengan teman barunya. Ia melangkah keluar dari area perhutanan dan menemukan jalur yang dimaksud oleh si Tukang Kayu. Ia menanjak bukit sejauh tiga puluh-an kilometer sebelum akhirnya tiba di hadapan sebuah goa. Pintu goa itu tertutup rapat. Tak ada siapapun di sana—dan kesunyian membalut sekelilingnya.

Kemudian, Raja Monyet memutar kepalanya dan melihat sebuah lempengan batu di atas tebing dengan ukuran 9 x 2 meter. Dan tertera di atas lempengan batu tersebut adalah tulisan berhuruf besar yang berbunyi ‘Goa Bulan Miring dan Tiga Bintang di atas Gunung Teras Suci.’

“Penduduk di sekitar sini memang jujur,” ujar Raja Monyet. “Ternyata si Tukang Kayu tidak mengada-ada.”

Raja Monyet menginspeksi area di sekitar goa selama beberapa waktu, namun ia tak mengetuk pintunya sama sekali. Sebaliknya, ia justru melompat ke atas dahan pohon pinus seraya mengudap biji-bijian pohon pinus dan bermain di antara ranting-rantingnya. Setelah menghabiskan banyak waktu bermain, Raja Monyet mendengar ada seseorang yang memanggil; lalu pintu goa terbuka dan seorang bocah berparas tampan melangkah keluar. Raja Monyet belum pernah melihat bocah setampan itu sebelumnya.

“Siapa yang berisik di luar sini?” tanya bocah itu dengan lantang.

Raja Monyet segera melompat turun dari dahan pohon pinus, menghampiri sang bocah dan membungkukkan badan. “Wahai bocah tampan, saya datang kemari karena hendak mempelajari ilmu yang bisa membuat saya abadi. Saya tidak ada niat untuk mengganggu ketenangan kalian.”

“Kau mau belajar di sini?” tanya sang bocah dengan nada ironis seraya tertawa.

“Benar sekali,” ujar Raja Monyet.

“Guru saya sedang mengajar,” kata sang bocah. “Tapi sebelum beliau mulai mengajar, beliau sempat berpesan pada saya untuk membukakan pintu bagi orang yang mencarinya. Apakah Anda yang dimaksud beliau?”

“Tentu saja,” kata Raja Monyet.

“Kalau begitu ikuti saya,” tutur sang bocah.

Raja Monyet buru-buru merapikan diri dan mengikuti langkah sang bocah ke dalam goa. Sejumlah ruangan besar tampak terbuka di hadapan mereka. Keduanya melangkah dari satu ruangan ke ruangan lain, melintasi koridor yang beratap tinggi dan luas, serta keluar-masuk beberapa beranda dan tempat istirahat sebelum akhirnya tiba di sebuah mimbar yang terbuat dari batu giok.

Duduk di atas mimbar adalah seorang pendeta tua beraliran Taoisme yang dikenal dengan sebutan Subodhi—menghadap ke arah tiga puluh orang suci yang tengah duduk berjajar, mendengarkan instruksi sang Guru dengan saksama.

Raja Monyet segera menjatuhkan diri ke tanah dalam posisi menyembah, menyentuh lantai dengan keningnya sebanyak tiga kali seraya berkata: “Tuanku! Tuanku! Sebagai seorang murid saya hendak menyampaikan rasa hormat yang tertinggi.”

“Dari mana asalmu?” tanya Subodhi. “Pertama, jelaskan dulu nama dan asal-usulmu. Setelah itu baru kau bisa memberikan hormat kepadaku.”

“Saya datang dari Goa Tirai Air,” ujar Raja Monyet. “Di atas Gunung Kembang dan Bebuahan di negeri Ao-lai.”

“Pergi!” perintah Subodhi. “Aku kenal penduduk di daerah itu. Mereka kelompok yang licik dan usil. Tak ada gunanya mereka datang kemari dan mempelajari soal Pencerahan Jiwa.”

Raja Monyet buru-buru membungkukkan badan lagi seraya berkata: “Saya tidak berbohong tentang kedatangan ataupun tujuan saya. Saya hanya menyampaikan yang sebenar-benarnya.”

“Jika kau memang berkata yang sebenarnya,” ujar Subodhi. “Kenapa kau bilang kalau kau datang dari negeri Ao-lai? Jarak yang terbentang antara negeri Ao-lai dan tempat ini sangatlah jauh—melewati dua lautan dan seluruh Benua Selatan. Bagaimana bisa kau sampai kemari?”

“Saya berlayar melintasi lautan dan berjalan kaki menyeberangi daratan selama sepuluh tahun lebih,” kata Raja Monyet. “Hingga akhirnya saya tiba di sini.”

“Baiklah,” kata Subodhi. “Kalau begitu caranya, tak heran kau bisa sampai di sini. Sekarang aku mau tanya, apa hsing-mu?”

“Saya tidak pernah menunjukkan hsing,” kata Raja Monyet. “Kalau saya disalahgunakan, saya tak pernah kesal. Kalau saya dipukul, saya tak pernah marah. Saya bahkan akan berlaku dua kali lipat lebih sopan dari sebelumnya. Seumur hidup, saya tak pernah menunjukkan hsing.”

“Bukan itu maksudku,” kata Subodhi. “Aku tidak menanyakan perihal tabiat amarahmu. Aku tanya soal keluargamu. Apa marga mereka?”

“Saya tidak punya keluarga,” ujar Raja Monyet. “Tak ada ayah ataupun ibu.”

“Masa!” seru Subodhi. “Maksudmu kau lahir dari pohon?”

“Tidak juga,” kata Raja Monyet. “Saya lahir dari sebongkah batu. Di Gunung Kembang dan Bebuahan ada sebongkah batu ajaib. Ketika waktunya tiba, batu itu terbelah dua dan saya terlahir dari dalamnya.”

“Kita harus memberikan nama baru untukmu,” kata Subodhi. “Nama yang akan kau gunakan di sini. Ada dua belas karakter kata yang kami gunakan untuk penamaan murid di goa ini, masing-masing karakter merujuk pada tingkat pembelajaran sang murid. Kau ada di tingkat ke sepuluh.”

“Apa saja kedua belas karakter kata yang Anda maksud?” tanya Raja Monyet.

“Lebar, Besar, Bijak, Cerdas, Benar, Tunduk, Alam, Laut, Periang, Sadar, Sempurna dan Terang. Karena kau berada di tingkat ke sepuluh, namamu harus mengandung karakter Sadar. Coba kita lihat. Kau adalah monyet (sun) dan kau sadar terhadap kekosongan di sekelilingmu dan juga dalam dirimu sendiri (go kong). Bagaimana kalau Sun Go Kong?”

“Boleh!” kata Raja Monyet diiringi derai tawa. “Mulai saat ini, panggil saya Sun Go Kong.”.................
Sumber : http://fiksilotus.com/2013/06/10/novel-rakyat-perjalanan-ke-barat-bab-satu

Sementara untuk ceritanya segitu saja dahulu insya alloh nanti saya cari cari lagi  yang lebih lengkap

Untuk yang lancar dalam membaca dengan teks bhs eropa silahkan menuju link di bawah ini

http://books.google.co.id/books?id=W2aasDuXK5EC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false



Semoga Postingan Ini Bermanfaat😇

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter